Ramadan dengan Cinta #6: Cinta Bersaudara

Seorang datang kepada Rasulullah saw., dalam keadaan lapar, lalu beliau mengirim utusan ke para istri beliau.

Para istri Rasulullah menjawab: “Kami tidak memiliki apapun kecuali air”.

Rasulullah saw bersabda: “Siapakah di antara kalian yang ingin menjamu orang ini?”

Salah seorang kaum Anshar berseru: “Saya,”

Lalu orang Anshar ini membawa orang tersebut ke rumahnya dan berkata kepada istrinya: “Muliakanlah tamu Rasulullah saw!”
Istrinya menjawab: “Kami tidak memiliki apapun kecuali jatah makanan untuk anak-anak”.

Orang Anshar itu berkata: “Siapkanlah makananmu itu! Nyalakanlah lampu, dan tidurkanlah anak-anak kalau mereka minta makan malam!”

Kemudian, wanita itu pun menyiapkan makanan, menyalakan lampu, dan menidurkan anak-anaknya. Dia lalu bangkit, seakan hendak memperbaiki lampu dan memadamkannya. Kedua suami-istri ini memperlihatkan seakan mereka sedang makan. Setelah itu mereka tidur dalam keadaan lapar.

Keesokan harinya, sang suami datang menghadap Rasulullah saw, Beliau bersabda: “Malam ini Allah tertawa atau ta’ajjub dengan perilaku kalian berdua.

Lalu Allah swt menurunkan ayat-Nya”: QS. Al-Hasyr: 9 (Dan mereka mengutamakan orang lain atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan apa yang mereka berikan itu. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung)

Nabi Muhammad saw., berhasil mempersaudarakan muhajirin dengan anshar dalam sebuah deklarasi persaudaraan antar mereka. Satu dari contoh persaudaraan itu antara lain apa yang terjadi antara Abdurrahman bin ‘Auf dengan Sa’ad bin Rabi’. Sesaat setelah dipersaudarakan oleh Nabi, Sa’ad berkata kepada ‘Abdurrahman: “Aku termasuk orang kaya, Aku akan membagi hartaku setengah untukmu. Pilihlah di antara istriku yang kau inginkan, (dan) aku akan menceraikannya untukmu. Jika selesai masa ‘iddahnya, engkau bisa menikahinya”. Mendengar pernyataan saudaranya itu, ‘Abdurrahman menjawab: “Tunjukkan saya pasar saya akan berdagang” Lalu Sa’ad menunjukkan pasar Qainuqa’. Mulai saat itu, ‘Abdurrahman berdagang dan berhasil menjadi orang masuk dalam deratan orang kaya di Madinah.

Mencintai saudara sama cintanya dengan diri kita adalah bukti keimanan sebagaimana hadis yang disampaikan Anas bin Malik, Nabi bersabda “Tidaklah beriman di antara kalian sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya” (HR. Bukahri dan Muslim).

Hubungan persaudaraan tak harus melalui nasab keturunan, namun ada pula karena ikatan ideologi dan semangat yang dibangun bersama. Persaudaraan yang diberkahi bila dibina dengan keihklasan tanpa pamrih, saling membutuhkan di kala tengah dalam masalah untuk berbagi secara material maupun nonmaterial.

Persaudaraan yang sejati dibangun atas kerelaan dan kebanggan melepaskan masalah yang dialami saudaranya. Ibarat bila kuku panjang, yang dipotong adalah kuku bukan jarinya. Begitu juga bila ada masalah sesama saudara, yang dibuang adalah masalahnya bukan silaturahmi persahabatan atau persaudaraannya.

Saudara bisa dari kata seudara, sama-sama menghirup udara yang sama. Orang bugis menyebut dengan ‘silessureng’ secara harfiyah bermakna saling baku jaga, bisa juga maknanya saling kembali. Orang Makassar menyebutnya ‘sarebattang’ artinya satu perut, satu rahim. Demikian cinta yang dibangun karena persaudaraan.

Penulis: Prof. Dr. KH. Muammar Bakry, Lc.,MA. (Ketua FKUB Sulawesi Selatan)

Tinggalkan komentar