
Orang-orang yang termasuk kekasih (cinta) Allah di bumi adalah orang-orang miskin. Riwayat dari Abdullah bin Umar, ia berkata bahwasanya Rasulullah saw bersabda “Sesungguhnya makhluk yang dikasihi oleh Allah Ta’ala ialah orang yang fakir miskin..”.
Catatan yang paling penting menyikapi hadis itu bahwa Islam tidak menganjurkan manusia menjadi miskin agar menjadi kekasih Tuhan. Islam malah menyebutkan bahwa kefakiran nyaris mengarah kepada kekufuran, tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah, orang yang sering meminta-minta dibangkitkan di akhirat dalam keadaan wajah dan tulang tanpa daging di pipinya, hanya orang kaya yang bisa mengeluarkan zakat sebagai rukun Islam dan seterusnya sebagai ungkapan bahwa Islam menginginkan manusia menjadi kaya.
Namun demikian, adalah sunnatullah dalam kehidupan sosial bermasyarakat, kemiskinan adalah fenomena yang sangat faktual terjadi. Dalam banyak faktor orang bisa menjadi miskin, hidup tak berdaya dan mungkin sangat membutuhkan belas kasihan dari orang lain.
Dalam kondisi seperti itu, Tuhan menitipkan rasa cintanya kepada orang-orang berempati terhadap orang miskin yang membutuhkan bantuan. Demikian yang digambarkan dalam QS. al-Insan (surah manusia) ayat 8-9 bahwa orang-orang berempati itu memberikan makanan kepada kekasih (cinta) Allah yaitu orang-orang miskin, anak yatim dan orang ditawan. Mereka melakukannya bukan untuk memperoleh balasan, sanjungan dan ucapan terima kasih, tapi dilakukan secara tulus. Gambaran itu dijelaskan dalam surah manusia, menunjukkan bahwa nilai kemanusiaan seseorang adalah membantu orang lain yang membutuhkan.
Dalam referensi sebab turunnya ayat di atas, dijelaskan bahwa Ali bin Abi Thalib bersama seorang dari Anshar setiap hari memberi makanan kepada orang miskin, anak yatim dan orang musyrikin. Lalu turunlah ayat mengapresiasi apa yang dilakukan Ali bin Abi Thalib bersama sahabatnya. Apa yang dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib memberikan makanan bukan hanya kepada anak yatim dan orang miskin tapi juga kepada orang musyrik menunjukkan bahwa atas nama kemanusiaan dalam hal membantu dan berbagi, agama bukanlah faktor penghalang dalam memberi berempati.
Kisah yang cukup masyhur seorang ulama bernama Abdullah bin Mubarak yang berangkat menuju Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Saat melewati Kufah melihat pemandangan yang miris, seorang ibu bersama tiga anaknya memakan bangkai akibat kemiskinan. Karena ibah, Abdullah bin Mubarak menangis, kemudian menyedekahkan keledai tunggangannya, beserta barang-barang bawaannya, termasuk makanan dan pakaian bekal dia melaksanakan ibadah haji kepada ibu dan anak-anaknya yang kelaparan.
Abdullah Mubarak membatalkan niat hajinya dan pulang ke kampung halaman.
Walhasil, saat kembali alangkah kagetnya Abdullah bin Mubarak karena mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat sebagai orang yang baru datang dari ibadah haji. Abdullah bin Mubarak menyampaikan bahwa ia gagal pergi ke Tanah Suci. Namun, sekampungnya yang berhaji menyampaikan keyakinannya melihat Abdullah bin Mubarak berada di Makkah. Selanjutnya dalam tidurnya, Abdullah bin Mubarak mendengar suara, “Hai Abdullah, Allah telah menerima amal sedekahmu dan mengutus malaikat menyerupai sosokmu, menggantikanmu menunaikan ibadah haji.” Cinta melahirkan empati yang nilainya diapresiasi oleh Allah swt.
Penulis: Prof. Dr. KH. Muammar M. Bakry, Lc., MA. (Ketua FKUB Provinsi Sulawesi Selatan).