
Di antara manusia ada yang menjadikan selain Allah sebagai sekutunya, mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah, sementara orang beriman sangat mencintai Allah (Al-Baqarah 165). Tidak beriman di antara kalian, sampai aku lebih dicintai dari orang tua, anak, harta dan manusia lainnya. (HR. Muslim).
Cinta kepada Allah dan Nabi bukanlah dua esensi yang berbeda, tapi merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Tidaklah dikatakan orang cinta kepada Allah jika tidak mencintai Nabi-Nya, sebaliknya juga tidaklah dikatakan orang cinta kepada Nabi jika tidak mencintai Allah. Itulah makna ayat “Jika kalian mencintai Allah ikutilah saya, pasti Allah mencintai kalian”, demikian potongan terjemahan ayat 31 QS. Ali Imran.
Bahkan Nabi Muhammad saw menjadi wasilah cinta seorang hamba kepada Tuhan, sebagaimana perintah al-Qur’an yang termaktub dalam QS. al-Maidah yang mengisyaratkan mencari wasilah untuk mecapai ketakwaan. Wasilah yang dimaksud adalah Nabi Muhammad saw sebagaimana dalam doa yang selalu dibaca Ketika mendengarkan azan “Aati Sayyidana Muhammad al-wasilah wal-fadhilah..”, artinya berikan kepada Junjungan kami Muhammad wasilah dan kemuliaan).
Cinta dimulai dengan keterkaitan hati kepada yang dicintai, ini ditandai dengan selalu mengingatnya kapanpun dan di manapun berada. Ada keinginan untuk selalu ingin berjumpa dan bercengkrama dengan yang dicintai karena kecondongan dan keterpenuhan hati yang luar biasa mengisi sanubarinya. Kerinduannya yang terus memuncak menjadikan lupa dan menganggap tidak ada selainnya. Puncak dari cinta seperti ini adalah menuruti dan menaati apa saja keinginan yang dicintainya.
Menaati apa keinginan yang dicintai disebut tatayyum atau ta’abbud sebagai refleksi pengabdian seorang hamba kepada tuannya. Menjadi hamba adalah penyadaran atas kehinaan diri yang tidak memiliki apapun selain dari tuannya, hidupnya sepenuhnya dalam genggamannya. Kesadaran ini membuat dirinya bersimpuh dan bersujud memohon segala kebutuhan lahir batinnya.
Dilampiaskan dalam satu gerakan yang paling hina yakni sujud dengan meratakan wajah selurus dengan kaki. Wajah adalah simbol kehormatan bagi manusia, potongan tubuh yang sangat sensitif jika diganggu oleh orang lain, karena dianggap menginjak harakat dan martabat manusia.
Mengikuti perintahnya dan menjauhi larangannya adalah puncak kecintaan seorang hamba kepada Tuhan. Sebaliknya juga demikian bukti bahwa Allah sangat mencintai seseorang apabila dijadikan sebagai orang beriman kepada-Nya tidak menjadi kafir kepada-Nya, selalu berada pada petunjuk kebenaran, senang berada bersama dengan orang-orang baik, bergaul dengan orang-orang saleh, senang melihat kebaikan dan konstruktif dalam membangun kemaslahatan umat dan manusia. Itulah refleksi dari cinta hakiki dari Tuhan kepada hambanya dan dari hamba kepada Tuhannya.
Penulis: Prof. Dr. KH. Muammar M. Bakry, Lc., MA. (Ketua FKUB Sulawesi Selatan) .