Isra Mikraj: Semangat Membangun Toleransi Dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

Isra Mi‘raj yang tiap tahun dirayakan umat Islam, khususnya di Indonesia sesungguhnya di dalamnya sarat dengan nilai-nilai kognitif yang dibutuhkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Isra adalah perjalanan istimewa yang dianugerahkan kepada Rasulullah dari Masjidil Haram di Makkah menuju Masjidil Aqsa di Palestina, dilanjutkan dengan Mi’raj ke Sidratul Muntaha menembus batas-batas langit. Pada perjalanan tersebut Rasulullah telah melampaui batas-batas materi alam semesta yang jaraknya miliaran tahun cahaya, berinteraksi langsung dengan tanda-tanda kekuasaan Allah yang luar biasa (QS. 53: 13-18).

Mengapa Rasulullah diberi keistimewaan untuk Isra Mi‘raj? Kita menoleh ke belakang sebelum peristiwa Isra’ Mi’raj, tepatnya pasca kehilangan dua tokoh pengawal dakwah, Khadijah RA sang isteri tercinta dan Abu Thalib sang paman, tokoh Suku Quraisy yang sangat disegani. Rasulullah melakukan dakwah ke Thaif dengan harapan Bani Tsaqif, suku utama di Thaif menyambut dakwah. Kenyataannya, kekejaman mereka melampaui kekejaman Kaum Paganis Quraisy. Mereka menyambut dakwah Rasulullah dengan lemparan batu disertai cacian yang mencederai fisik dan psikis. Malaikat penjaga gunung Thaif memanggil Nabi, mengucapkan salam lalu berkata, ‘Wahai Muhammad! Jika engkau mau, aku bisa menimpakan Al-Akhsyabain (dua gunung besar yang ada di kanan kiri Masjidil Haram) kepada mereka yang telah menyakitimu. Lalu Rasulullah  menjawab, “Tidak, mereka lakukan itu karena mereka tidak tahu. Namun aku berharap supaya Allah melahirkan dari anak keturunan mereka ada orang-orang yang beribadah kepada Allah semata, tidak mempersekutukan-Nya dengan apapun jua.” (HR. Bukhari: 3231 dan Muslim: 1795)

Sifat penuh kasih, penyayang dan rendah hati Rasulullah ini adalah sifat-sifat terpuji yang menjadikannya dipuji dan kemudian diangkat derajatnya oleh Allah SWT. (QS. 68: 4).  Sifat-sifat mulia Rasulullah ini tertanam kuat. Ketika pulang dari gua Hira pasca kedatangan Malaikat Jibril menyampaikan wahyu pertama, beliau dihibur dan dikuatkan oleh Khadijah dan mengatakan bahwa yang datang itu adalah malaikat utusan Allah. Karena Nabi adalah orang baik, seperti dalam riwayat beliau mengatakan: Demi Allah, Allah tidak akan menghinakan engkau selamanya, karena engkau penyambung silaturahim, membantu yang memerlukan, meringankan orang yang tidak berpunya, memulyakan tamu dan menolong untuk kebenaran.”  )HR. Muslim: 160, Ahmad: 25959)

Demikian juga, ketika suatu kesempatan bersama dengan Malaikat Jibril, turun kepadanya Malaikat dan berkata, bahwa Allah menawarkan kepada Nabi Muhammad apakah ingin menjadi raja (al-malik) sekaligus utusan atau hamba (al-‘abd) sekaligus utusan.  Namun, dengan kerendahan hatinya Nabi Muhammad SAW menginginkan sekadar menjadi hamba-Nya (al-‘abd).  (HR. Ahmad: 7160 dan HR. Al-Bazzar: 9807). Kerendahan hati Rasulullah kemudian justru mengangkatnya pada tempat paling tinggi, di mana Rasulullah SAW dapat berdialog langsung dengan Allah SWT saat Mi’raj ke Sidratul Muntaha dan menerima perintah kewajiban Shalat lima waktu. 

Al-Qur’an dalam menyampaikan peristiwa Isra pada QS. Al-Isra (17) dan peristiwa Mi‘raj pada QS. Al-Najm (53), keduanya menyebut Muhammad dengan kata “al-‘abd”. Tidak menggunakan diksi “al-Nabiy” atau “al-Rasul

Lalu apa relevansinya terhadap kehidupan bangsa yang majemuk ini? Isra Mi‘raj yang merupakan peristiwa yang luar biasa yang hanya terjadi pada Rasulullah, namun sesungguhnya dari aspek nilai juga dapat ditempuh oleh umat Islam yang mayoritas di negeri tercinta ini. Bila secara historis dan kronologis, Isra’ Mi’raj sebagai pemberian Allah kepada Rasulullah yang memiliki sifat-sifat mulia, penyayang dan rendah hati, maka umat Islam diharuskan menjelmakan diri menjadi pengikut yang sebenarnya bagi Rasullah yang dijadikan sebagai uswatun hasanah. Sikap penyayang dan rendah hati sangat diperlukan oleh umat Islam saat ini sebab sudah lama umat ini terjerumus kepada keadaan dan suasana konflik akibat sifat merasa paling benar, baik secara individu maupun kelompok dan golongan.  Ukhuwah Islamiyah apalagi ukhuwah wathaniyah dan basyariyah seakan hanya menjadi jargon yang selalu diucapkan. Sikap rendah hati menjadi sangat penting karena selalu membawa kita untuk tidak merasa paling benar. Sikap tidak merasa paling benar pada gilirannya akan membawa kita untuk pantang menyalahkan orang lain dan pada gilirannya akan timbul sikap menghargai pendapat dan perilaku orang lain (toleransi). Toleransi (tasamuh) juga merupakan sikap yang selalu dibutuhkan umat Islam Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Allah telah menegaskan pentingnya toleransi di antaranya dalam QS. 2: 256, QS. 109: 1-6 dan lain-lain. Rasulullah juga telah meneladankan sikap toleransi dalam banyak riwayat yang dipahami secara implisit dan eksplisit. Misalnya keberadaan piagam Madinah sebagai inisiatif Rasulullah untuk membangun kebersamaan di Madinah yang penduduknya sangat majemuk.

Isra Mi‘raj adalah momentum bagi umat Islam Indonesia yang merupakan warga mayoritas untuk mentrasformasi diri secara spritual, meneladani sifat penyayang, rendah hati dan toleransi Rasulullah dalam mencapai ketentraman sosial, kebahagiaan dan kesejahteraan di negeri yang plural ini.

Penulis : Dr. H. Shaifullah Rusmin, Lc., M.Th.I. (Pengurus FKUB Sulsel) / Editor : Sadri Saputra

Tinggalkan komentar