
Dalam kesempatan ber-Idhul Adha tahun ini tetap menjadi momentum yang sangat tepat untuk merenungkan kembali nilai-nilai perjuangan dan pengorbanan yang pernah diperankan oleh Nabi Ibrahim as. Kita mengenal beliau sebagai seorang Nabi yang menemukan Tuhan melalui pencarian dan pengalaman rohani. Secara spektakuler, beliau berhasil mengantar umatnya dari penganut berhalaisme kapada akidah tauhid, suatu ajaran yang paling fundamental dalam kehidupan umat manusia, karenanya ia tetap aktual sepanjang sejarah kemanusiaan.
Kiranya menarik untuk ditenghahkan di sini sebagian dari dialog Nabi Ibrahim as dengan kaumnya, menyangkut keengganannya menyembah berhala dan seruannya untuk hanya menghambakan diri kepada Allah, yang intinya mengajak kaumnya berpikir kritis.
Kaumnya berkata: “Jika engkau enggan menyembah berhala atau patung, mengapa engkau tidak menyembah api?” Ibrahim menjawab: “Bukankah api dapat dipadamkan oleh air?”. Kalau demikian, kata kaumnya: “Mangapa engkau tidak menyembah air?”. Dijawab oleh Ibrahim: “Bukankah awan yang mengandung air itu lebih wajar?” Kalau demikian, kata kaumnya. “sembahlah awan” Ibrahim menjawab: “Angin yang menggiringnya lebih berkuasa”. “Kalau begitu, mengapa engkau tidak menyembah angin?” Dijawab oleh Ibrahim: “manusia mampu menghembuskan dan menariknya kembali”
Disamping ajaran tauhid, Nabi Ibrahim juga datang mengumandangkan ajaran persamaan semua manusia di hadapan Allah SWT., sehingga betapapun kuatnya seseorang, ia tetap sama di hadapan Allah dengan orang yang paling lemah. Karena kekuatan yang diperoleh seseorang, berasal dari Allah, sedangkan kelemahan si lemah adalah atas hikmah kebijaksanaan-Nya. Dia dapat menganugerahkan kekuatan itu kepada siapa saja yang dikehendaki dan dapat pula mencabutnya sesuai dengan sunnah yang ditetapkan-Nya.
Allah berfirman dalam Q.S. Ali Imran, 3: 26:
قُلِ اللّٰهُمَّ مٰلِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِى الْمُلْكَ مَنْ تَشَاۤءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاۤءُۖ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاۤءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاۤءُ ۗ بِيَدِكَ الْخَيْرُ ۗ اِنَّكَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
Artinya:
Katakanlah: “Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki, di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Dalam kaitannya dengan korban, Nabi Ibrahim hadir dipentas kehidupan, pada saat persembahan korban manusia diperselisihkan, di satu pihak ada yang membolehkan, dan dilain pihak menolak dengan alasan, manusia terlalu mulia dan dan terlalu mahal untuk tujuan tersebut. Melalui Nabi Ibrahim as., Allah mengukuhkan larangan menjadikan manusia sebagai korban. Tetapi pelarangan tersebut, bukan karena manusia terlalu mulia dan terlalu mahal sehingga tidak wajar dijadikan korban, tetapi karena Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Dari informasi al-Qur’an, diperoleh keterangan bahwa Allah SWT. memerintahkan kepada Nabi Ibrahim agar menjadikan puteranya Ismail as. sebagai korban. Perintah tersebut mengindikasikan bahwa apapun yang dimiliki manusia apabila diminta oleh Allah, maka wajar dikorbankan untuk mencapai ridha-Nya. Tetapi dengan kasih sayang Tuhan kepada hamba-Nya, maka setelah perintah tersebut dilaksanakan oleh Ibrahim dan Ismail, Allah SWT. dengan kekuasaan-Nya mengahalangi penyembelihan tersebut dan menggantikannya dengan seekor domba. Hal ini dijelaskan al-Qur’an dalam Q.S. al-Shaffat, 37: 100-107:
رَبِّ هَبْ لِيْ مِنَ الصّٰلِحِيْنَ فَبَشَّرْنٰهُ بِغُلٰمٍ حَلِيْمٍ فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يٰبُنَيَّ اِنِّيْٓ اَرٰى فِى الْمَنَامِ اَنِّيْٓ اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرٰىۗ قَالَ يٰٓاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُۖ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِيْنَ فَلَمَّآ اَسْلَمَا وَتَلَّهٗ لِلْجَبِيْنِۚ وَنَادَيْنٰهُ اَنْ يّٰٓاِبْرٰهِيْمُ ۙ قَدْ صَدَّقْتَ الرُّءْيَا ۚاِنَّا كَذٰلِكَ نَجْزِى الْمُحْسِنِيْنَ اِنَّ هٰذَا لَهُوَ الْبَلٰۤؤُا الْمُبِيْنُ وَفَدَيْنٰهُ بِذِبْحٍ عَظِيْمٍ
Artinya:
Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh.
Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar.
Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku: Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!” ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.
Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya ).
Dan Kami panggillah dia: “Hai Ibrahim,
Sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu. Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.
Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata.
Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.
Dari penuturan Al-Qur’an di atas, terutama dialog antara Ibrahim dan Ismail, sebelum melaksanakan perintah korban tersebut, tergambar kebijaksanaan seorang ayah yang luar biasa, yang menjadikan puteranya Ismail yang sudah menanjak dewasa itu, sebagai mitra dalam mencari kebenaran dan memecahkan masalah-masalah yang rumit.
Dalam dialog tersebut tampak bahwa Ibrahim sama sekali tidak ingin memaksakan kehendaknya kepada puteranya., walaupun sebenarnya ia bisa melaksanakan hal tersebut. Terbukti ketika beliau diperintahkan oleh Allah untuk menjadikan putranya Ismail sebagai korban, Ibrahim tetap meminta pertimbangan dari putranya, dengan panggilan yang sangat akrab dan penuh kasih, dia mengatakan يا بني (hai anakku). Seolah-olah beliau ingin mengatakan kepada putranya bahwa engkau adalah putraku tercinta tetapi aku diperintahkan Allah untuk menjadikanmu sebagai korba. Walaupun aku harus melaksanaknnya karena perintah Tuhan, tetapi aku ingin tetap mendengarkan pandapatmu. Dan kalaupun akhirnya aku harus melaksanakan perintah tersebut, yang akan mengakibatkan terpisahnya jiwa dari jasadmu, ketahuilah bahwa aku tetap menyayangimu.
Dari kisah yang disampaikan Al-Qur’an itu, kita pun mendapatkan gambaran yang sangat jelas tentang kepatuhan seorang anak yang luar biasa: Ismail as. Hal itu tergambar dari jawaban yang diberikan terhadap pertanyaan ayahnya, Ibrahim as. Ismail as. dengan penuh hormat dan sangat santun, menjawab dengan sangat mantap: يا ابت افعل ما تؤمر (wahai ayahku kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu) yang menggambarkan kepatuhan dan kesiapan Ismail as. menerima dan menjalankan tugas teramat berat tersebut.
Sebagai putra yang saleh, Ismail tidak hanya menyatakan kesiapannya menerima ujian yang cukup berat itu, bahkan lebih dari itu, ia juga berusaha meringankan beban berat yang dialami ayahandanya, Nabi Ibrahim as. Hal itu tergambar dari jawabannya ketika ayahandanya: berkata: “Aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu”. Ismail as. memilih untaian kata yang sangat tepat dengan mengatakan: افعل ما تؤمر (kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu). Jawaban tersebut menunjukkan bahwa Ismail adalah sosok yang sangat cerdas secara intelektual. Hal itu terlihat dari kemampuannya memilih untaian kata yang sangat tepat. Akan tetapi kecerdasan intelektualnya itu dilandasi dengan kecerdasan spiritual serta etika dan moral yang sangat mengagumkan. Ismail as. memang diberikan predikat oleh Allah sebagai gulảmun haîm (anak yang sangat penyantun). Dalam konteks kekinian, dapat dinyatakan bahwa kita memerlukan figur yang cerdas secara intelektual, tetapi kecerdasan intelektual itu seyogianya bersinergi dengan kecerdasan spiritual dan moral.
Kiranya perlu pula diketengahkan di sini bahwa keberhasilan Nabi Ibrahim melaksanakan perjuangan besar menyuru manusia kepada akidah tauhid, menegakkan kebenaran dan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat, terutama sekali kesuksesannya melaksanakan korban sesuai dengan perintah Allah SWT., tidak terlepas dari peran yang dimainkan oleh istrinya sendiri Sitti Hajar, yang telah mendidik Ismail menjadi anak yang saleh, cerdas secara intelektual tetapi dalam interaksi sosialnya, lebih menonjol etika dan moralnya.
Sitti Hajar adalah tipe wanita yang sangat tegar, tekun dan penuh kesabaran. Ketegaran dan kesabarannya tercermin dari kesediannya bersama putranya Ismail ditinggal di suatu lembah yang tandus. Dalam kesendiriannya itu Sitti Hajar sangat yakin akan Kemahakuasaan Allah, tetapi keyakinannya itu tidak menjadikannya berpangku tangan., dengan hanya menunggu turunnya rezeki dari langit. Tetapi ia tetap berusaha secara maksimal untuk mempertahankan hidupnya dan putranya Ismail.
Siiti Hajar memulai usahanya dari bukit Shafa yang secara literal berarti kesucian dan ketegaran, sebagai lambang bahwa untuk mencapai hidup yang bahagia, harus dimotivasi oleh hati yang suci dan ketegaran dalam berusaha. Usaha Hajar berakhir di Marwa, yang berarti ideal, sikap menghargai dan bermurah hati. Hal ini melambangkan bahwa usaha manusia secara ikhlas dan sungguh-sungguh, akan mendatangkan kepuasan dan ketenangan serta akan mendapatkan anugerah Allah SWT. seperti yang dialami Sitti Hajar yang berhasil menemukan sumur Zamzam, yang sampai sekarang tetap dinikmati oleh umat manusia.
Dalam konteks inilah, kita biasa memahami betapa besar peranan seorang ibu dam membina dan mendidik putra-putrinya agar bisa tumbuh dan berkembang menjadi anak yang saleh. Meskipun kita juga harus mengakui bahwa hal itu tidaklah mudah, sebab ia memerlukan kesabaran dan ketegaran, dan yang paling penting adalah memberi keteladanan.
Akan berbahagialah orang tua yang dapat membimbing putra-putrinya menjadi anak yang saleh sehingga anak tersebut bisa menjadi hiasan hidup dan sumber harapan di masa datang bagi keluarga dan masyarakatnya. Kita semua tidak menginginkan putra-putri kita menjadi beban yang membawa kegelisahan dan kerusakan apalagi menjadi musuh, baik keluarga maupun masyarakat.
Dalam kaitan ini, Rasulullah saw. memberikan tuntunan dalam salah satu sabdanya:
اكرموا اولادكم واحسنوا ادابهم . روه ابن ماجه
“Hormatilah anak-anakmu dan didiklah mereka dengan baik”
Hadis ini memerintahkan kepada orang tua agar memuliakan putra-putrinya dan mendidik mereka dengan akhlak yang terpuji. Salah satu wujud nyata dari bentuk pendidikan akhlak kepada anak, ialah menerima usaha anak walaupun kecil, memaafkan kekeliruannya, tidak membebaninya dengan beban yang berat dan tidak memakinya dengan makian yang melukai hatinya, apalagi kalau sampai terlontar ucapan-ucapan yang menyatakan pengingkaran orang tua terhadap putra-putrinya.
Kiranya perlu dinyatakan bahwa tugas berat tersebut tidak hanya menjadi tanggung jawa ibu tetapi juga ayah, para pendidik dan pemimpin masyarakat, mereka semua mestinya bisa menjadi panutan dan teladan bagi anak-anak yang baru tumbuh dan berkembang. Sebab wejangan dan pelajaran yang mereka terima, tidak akan banyak hasilnya, jika dalam kenyataan sosial sehari-hari, justeru bertentangan dengan yang mereka pelajari.
Dalam kaitannya dengan korban yang pernah dicontohkn Nabi Ibrahim kemudian diisyaratkan oleh Nabi Muhammad saw., perlu direnungkan bahwa kalau kita diperintahkan untuk menyembelih binatang, maka seyogyanya dipahami bahwa yang diperintahkan untuk disembelih adalah sifat-sifat kebinatangan yang ada dalam diri manusia, seperti rakus, ambisi yang tak terkendali, menindas, menyerang dan tidak mengenal hukum serta norma-norma apapun, menuntut hak secara berlebih-lebihan tetapi tidak melaksanakan sebagaimana mestinya. Sifat-sifat yang demikian itulah yang seharusnya dijadikan korban dalam upaya mencapai qurban (kedekatan diri kepada Allah SWT). Dalam kaitan ini Allah SWT. menyatakan dalam Q.S. al-Hajj, 22:37:
لَنْ يَّنَالَ اللّٰهَ لُحُوْمُهَا وَلَا دِمَاۤؤُهَا وَلٰكِنْ يَّنَالُهُ التَّقْوٰى مِنْكُمْۗ كَذٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ ۗ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِيْنَ
Artinya:
Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.
Dengan demikian sebenarnya tidak ada kaitan antara daging dan darah binatang korban dengan qurban (kedekatan diri kepada Allah), Kalaupun ada, maka ia ditemukan, antara lain dalam rangka meringankan orang yang butuh, membela orang-orang yang lemah dan miskin serta mengangkat derajat kemanusiaan, karena bukankah daging-daging korban itu seharusnya diberikan kepada mereka yang butuh, lemah dan miskin. Seperti dijelaskan dalam Q.S. al-Hajj, 22:28:
لِّيَشْهَدُوْا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللّٰهِ فِيْٓ اَيَّامٍ مَّعْلُوْمٰتٍ عَلٰى مَا رَزَقَهُمْ مِّنْۢ بَهِيْمَةِ الْاَنْعَامِۚ فَكُلُوْا مِنْهَا وَاَطْعِمُوا الْبَاۤىِٕسَ الْفَقِيْرَ ۖ
Artinya:
Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.
Memahmi makna qurban sebagai kedekatan hubungan manusia dengan Allah SWT. yang setiap Idul Adha dilaksanakan melalui penyembelihan hewan korban bagi mereka yang mampu, maka paling tidak, harus dipahami sebagai usaha seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Khaliqnya dengan berupaya semaksimal mungkin membersihkan dirinya dari segala sifat yang tercela, selanjutnya menghiasinya dengan sikap dan prilaku yang terpuji.
Dengan begitu, implikasi dari kedekatan hamba kepada Allah, seharusnya melahirkan kepedulian sosial kepada sesama manusia dan lingkungan sekitarnya. Karenanya penyembelihan binatang korban, untuk kemudian membagikan sebagian dagingnya kepada mereka yang membutuhkannya, hanyalah sebagian kecil dari perjuangan kita untuk mengangkat dan membebaskan umat kita yang masih hidup di bawah garis kemiskinan.
Akan tetapi upaya untuk mewujudkan hal tersebut, yakni masyarakat yang adil yang tidak ada penindasan dan eksploitasi oleh manusia terhadap manusia lainnya, memerlukan kesabaran, kebesaran tekad dan keteguhan jiwa. Perjuangan untuk meningkatkan taraf hidup umat kita, terutama yang masih terbelenggu oleh kemiskinan, secara khusus disebutkan oleh al-Qur’an sebagai jalan pendakian yang sulit (al-‘aqabah) untuk mencapai puncak, namun itulah yang membawa kemuliaan sejati di sisi Allah SWT. Sebagaimana dinyatakan dala Q.S. al-Balad, 90:11-17:
فَلَا اقْتَحَمَ الْعَقَبَةَ ۖ وَمَآ اَدْرٰىكَ مَا الْعَقَبَةُ ۗ فَكُّ رَقَبَةٍۙ اَوْ اِطْعَامٌ فِيْ يَوْمٍ ذِيْ مَسْغَبَةٍۙ يَّتِيْمًا ذَا مَقْرَبَةٍۙ اَوْ مِسْكِيْنًا ذَا مَتْرَبَةٍۗ ثُمَّ كَانَ مِنَ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ وَتَوَاصَوْا بِالْمَرْحَمَةِۗ
Artinya:
Maka tidakkah sebaiknyai dia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar. Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (yaitu) melepaskan budak dari perbudakan, Atau memberi makan pada hari kelaparan, (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat, Atau kepada orang miskin yang berkalang tanah..
Kemudian dia termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan tentang kesabaran dan saling berpesan tentang kasih sayang.
Upaya menghilangkan atau mengendalikan sifat-sifat kebinatangan yang ada dalam diri manusia memang sangat diperlukan, karena hanya dengan begitu, manusia dapat menempuh jalan mendaki yang sulit (al-aqabah). Titik kelemahan sebagian manusia adalah kecendrunganya berpandangan pendek, ingin cepat merasakan kenikmatan dan kesenangan hidup, mudah tergoda oleh daya tarik sementara suatu benda atau perbuatan, yang dalam bahasa Al-Qur’an disebut al-‘ajalah (tergesa-gesa), seperti dijelaskan dalam Q.S, al-Isra,17: 11:
وَيَدْعُ الْاِنْسَانُ بِالشَّرِّ دُعَاۤءَهٗ بِالْخَيْرِۗ وَكَانَ الْاِنْسَانُ عَجُوْلًا
Artinya:
. . .Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa.
Keengganan berkorban dan ketidaksediaan menunda kesenangan sementara untuk memperoleh kebahagiaan yang lebih besar dan panjang, berpangkal dari sifat tergesa-gesa manusia itu. Karenanya setiap pribadi dituntut untuk memiliki kerendahan hati dalam memandang diri sendiri, yaitu sikap yang tidak mengaku sebagai paling baik, paling benar dan paling suci. Kerendahan hati itu sendiri akan melahirkan kepedulian sosial terutama kepada mereka yang hidup kurang beruntung.
Kunci dari semua itu adalah adanya ketakwaan yang dimiliki seseorang, yang justreru menjadi pangkal kerendahan hati, karena keinsafan bahwa di atas setiap masing-masing pribadi, betapapun hebatnya pribadi itu, ada Dia Yang Maha Tinggi, yaitu Allah SWT.
Dalam kesempatan melaksanakan Idul Adha 1446 H. ini, mari kita berupaya mengambil hikmah sebanyak mungkin, baik dalam upaya mempersiapkan generasi pelanjut yang berkualitas dari segi fisik dan mental, maupun dalam upaya mengangkat derajat kehidupan sebagian umat kita yang masih kurang beruntung agar mereka dapat hidup secara layak, sehingga pada gilirannya diharapkan tercapainya masyarakat adil dan makmur, penuh kebajikan dan ridha Allah SWT. Baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafur.
Editor: S. Saputra