Prof. Darussalam: Kurban Mewujudkan Ketakwaan Komunal

Idul Adha disebut juga dengan Idul Kurban atau hari raya haji. Idul Adha secara harfiah berarti hari penyembelihan, sedang kata Idul Kurban arti harfiahnya adalah hari mendekatkan diri kepada Tuhan dan kepada sesama manusia. Dengan memotong dan membagi hewan kurban, seorang mukmin berusaha mendekati Tuhan dengan cara menjalin kedekatan dengan orang-orang mustadh’afin. Hal ini mengandung pesan yang mendasar, hendaknya manusia selalu menjalin kedekatan dengan Tuhan agar tidak sesat dalam menjalani hidupnya, dari-Nya kita berasal dan kepada-Nya kita kembali.

Setiap hari raya Idul Adha, Rasulullah Saw. membeli dua ekor domba yang gemuk, bertanduk, dan berbulu putih bersih. Rasul mengimami salat dan berkhotbah. Setelah itu, beliau mengambil seekor domba dan meletakkan telapak kakinya di samping domba dan berkata, “Ya Allah, terimalah ini dari Muhammad dan umat Muhammad.” Beliau menyembelih hewan itu dengan tangannya sendiri. Kemudian memberikan domba yang lain dan berdoa, “Ya Allah, terimalah ini dari umatku yang tidak mampu berkurban”. Sebagian dari daging kurban itu dimakan oleh Rasulullah Saw. dan keluarganya. Sisanya semuanya dibagikan kepada orang-orang miskin.

Sejak saat itu, setiap tahun di seluruh dunia Islam, binatang-binatang ternak disembelih. Berbeda dengan upacara persembahan pada agama-agama lain di luar Islam, di dalam Islam daging kurban tidak seluruhnya diserahkan kepada Tuhan. Daging kurban dinikmati sebagian oleh pelaku kurban dan selebihnya seluruhnya diserahkan kepada fakir miskin. Tidak sepotong daging pun yang diberikan kepada Tuhan. Alquran menyebutkan:

لَنۡ يَّنَالَ اللّٰهَ لُحُـوۡمُهَا وَلَا دِمَآؤُهَا وَلٰـكِنۡ يَّنَالُهُ التَّقۡوٰى مِنۡكُمۡ‌ؕ

Darah dan daging kurban itu tidak sampai kepada Allah. Tetapi yang sampai kepada-Nya hanyalah ketakwaanmu. (QS. Al-Hajj/22 : 37).

         Kurban masih seakar dengan kata karib yang bermakna dekat, dengan berkurban dimaksudkan mendekatkan diri kepada Tuhan dengan mendekatkan diri kepada sesama manusia, khususnya mereka yang sengsara. Ibadah kurban mengandung pesan yang mendasar, Anda hanya dapat dekat dengan Tuhan bila Anda mendekati saudara-saudara Anda yang berkekurangan. Islam tidak memerintahkan Anda untuk menyembelih hewan di altar pemujaan, atau di tepi lautan dan sungai, atau di dalam hutan, lalu Anda serahkan seluruhnya kepada Tuhan. Alquran memberi petunjuk,

فَكُلُوۡا مِنۡهَا وَاَطۡعِمُوا الۡبَآٮِٕسَ الۡفَقِيۡـرَ

Makanlah sebagian dari daging kurban dan beri makanlah kepada orang-orang fakir yang sengsara (QS. Al-Hajj/22 : 28).

Jika Anda memiliki kenikmatan, Anda diperintahkan untuk berbagi kenikmatan itu dengan orang lain. Ketika puasa mengajak Anda merasakan lapar seperti yang dirasakan orang-orang sengsara, maka ibadah kurban mengajak mereka yang sengsara untuk merasakan kenyang sebagaimana yang Anda rasakan.

Banyak orang mendekatkan diri kepada Allah dengan mengisi masjid-masjid dan tempat ibadah yang sunyi. Islam menganjurkan untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan mengisi perut saudara-saudara Anda yang kosong. Ketika Musa Alaihisalam bertanya, “Ya Allah, di mana aku harus mencari-Mu? Tuhan menjawab: “Carilah Aku di tengah-tengah orang yang hatinya hancur”. Dalam riwayat disebutkan, suatu hari Tuhan berkata kepada Nabi Musa. “Hai Musa, engkau mengaku beriman dan cinta pada-Ku, tapi engkau tidak peduli dan tidak menolong-Ku. Dulu Aku pernah lapar, tapi engkau tidak memberi-Ku makan, dulu Aku pernah kedinginan, tapi engkau tidak memberi-Ku pakaian, dulu Aku pernah sakit, tapi engkau tidak menjenguk-Ku”. Musa  berkata: “Tuhan, bagaimana mungkin Engkau lapar, kedinginan, dan sakit bukankah Engkau Rabb Al-Alamin”. Tuhan berfirman, “Dahulu ada hamba-Ku yang lapar, sekiranya engkau memberinya makan, kamu akan temukan Aku di situ. Dulu ada hamba-Ku yang kedinginan, sekiranya engkau memberinya pakaian, niscaya engkau temukan Aku di situ. Dulu ada hamba-Ku yang sakit, sekiranya engkau menjenguknya, niscaya engkau temukan Aku di situ.”

Riwayat seperti ini mudah di jumpai dalam himpunan hadis qudsi bahwa sesungguhnya jika seseorang ingin dekat pada Allah, dekatilah para fakir miskin dan mereka yang sengsara. Semangat untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Tuhan merupakan salah satu inti ajaran Nabi Ibrahim yang kemudian diteruskan oleh Nabi Musa, Nabi Isa, dan Nabi Muhammad Saw.

         Di hari raya ini kita mengumandangkan takbir Allahu Akbar, kita diajak untuk selalu menyadari bahwa hanya Allah Yang Maha Agung. Apa pun yang kita hadapi, dunia yang kita kejar, fasilitas hidup yang kita cari, jabatan yang kita perebutkan, semuanya kecil maknanya di hadapan kebesaran Allah. Semua itu memiliki nilai positif selama berfungsi meningkatkan kedekatan kita pada-Nya. Tidak seorang pun di antara kita yang tidak suka uang, tidak seorang pun di antara kita yang tidak suka makanan. Tapi uang, makanan yang kita miliki sebagian kita infakkan di jalan Allah untuk bertaqarrub kepada-Nya.

         Ketika Nabi Muhammad Saw. berdoa di kebun Utbah bin Rabi’ah, dia menyeru Allah dengan sebutan, “Ya Rabb Al-Mustadh’afin (Wahai, Tuhan yang melindungi orang-orang tertindas)”. Islam sebagai kekuatan pembebas umat manusia (liberating force), salah satu di antara tugas kerasulan Muhammad Saw. yang harus dilanjutkan umatnya adalah melepaskan manusia dari beban penderitaan yang membelenggu mereka.

         Umat Islam selama ini cenderung keliru mengartikan ibadah dengan membatasinya pada ibadah-ibadah ritual. Betapa banyak umat yang menyibukkan diri hanya dengan urusan ibadah mahdah, tetapi mengabaikan kemiskinan, kebodohan, penyakit, kelaparan, kesengsaraan, dan kesulitan hidup yang di derita saudara-saudara mereka. Betapa banyak di antara umat Islam yang memiliki kemampuan dengan khusyuk meratakan dahinya di atas sajadah, sementara di sekitarnya anak-anak tidak dapat melanjutkan sekolah, ribuan orang tua masih harus menanggung beban mencari nafkah, ribuan orang sakit menggelapar menunggu maut karena tidak dapat membayar biaya rumah sakit. Padahal, Nabi Saw. yang mulia melukiskan: “Perumpamaan kaum mukmin dalam hal jalinan kasih sayang, kecintaan, dan kesetiakawanan ibarat satu tubuh, yang bila salah satu anggotanya mengeluh sakit, maka Anggota tubuh lainnya menunjukkan simpatinya dengan berjaga dan menanggung panas karena demam”.

         Alquran dan sunnah Nabi berulang-ulang menegaskan bahwa kepedulian terhadap mustadhafin merupakan tanggungjawab bersama, mengabaikan nasib mustadafin, acuh tak acuh terhadap nasib mereka, dan enggan memberi pertolongan kepada mereka, menyebabkan dia menjadi pendusta-pendusta agama. Menolong, membela, dan peduli terhadap nasib mustadafin merupakan amal utama mendapat pahala lebih besar daripada ibadah-ibadah sunnah. Pesan Nabi: “Siapa saja di waktu pagi berniat untuk membela orang yang teraniaya dan memenuhi kebutuhan seorang Muslim, baginya ganjaran seperti ganjaran haji mabrur.

Siapa saja yang berjalan untuk memenuhi keperluan saudaranya di siang atau malam hari, ia berhasil memenuhinya atau tidak berhasil, itu lebih baik baginya dari pada iktikaf dua bulan di masjid”.

         Ketika Nabi yang mulia mengatasnamakan kurbannya untuk dirinya, keluarganya, dan semua umatnya yang tidak mampu, beliau menegaskan ibadah kurban sebagai ibadah sosial. Ibadah kurban bukan sekedar persembahan untuk meningkatkan kualitas spiritual seseorang; bukan cara untuk memperoleh kepuasan batin karena naik ke langit. Bukan pula kesempatan buat orang kaya untuk menunjukkan kesalehan dengan harta yang dimiliki. Dengan ibadah kurban seorang muslim memperkuat kepekaan sosial terhadap sesama manusia.

         Semua ibadah dalam Islam mengandung hikmah sosial terhadap sesama, kenapa salat diakhiri dengan salam, kenapa puasa diakhiri dengan zakat, kenapa haji diakhiri dengan kurban. Agar kita memahami bahwa yang ingin dicapai Islam bukan ketakwaan personal, ketakwaan perorangan, ketakwaan pribadi. Tapi yang ingin dicapai Islam adalah ketakwaan kolektif, ketakwaan komunal, ketakwaan bersama. Inti kurban terletak pada individu sebagai makhluk sosial.

         Rasulullah Saw. berpesan: Ada tiga hal yang wajib untuk diriku, dan sunat untuk umatku. Ketiga hal itu adalah: salat witir, salat duha, dan berkurban. Karena itu kurban adalah sunat muakkadah (sunat yang sangat penting), dan idealnya setiap kepala keluarga muslim yang memiliki kemampuan melaksanakan kurban, dengan cara invest kurban (cicilan/angsuran), urunan atau berkelompok, dan yang tidak mampu sama sekali akan memperoleh pahala dari niat ikhlas saudara-saudara mereka yang berkurban. Ibadah kurban dimaksudkan agar terjadi sosial interaktif, yang mampu membantu saudara-saudaranya yang tidak mampu, dan yang tidak mampu merasa terayomi hasil akhirnya adalah kebersamaan, keberpihakan, dan  kesetiakawanan sosial.

         Perlu disadari bahwa yang dibutuhkan masyarakat saat ini bukan sekedar sepotong daging kurban. Namun, masyarakat membutuhkan pendidikan berkualitas, pelayanan kesehatan, kesejahteraan hidup, ketertiban keamanan, dan lapangan kerja. Perintah berkurban begitu mendasar lalu diabadikan dalam ibadah haji sehingga hari raya haji disebut Idul Qurban atau Idul Adha. Artinya, bila seorang mukmin ingin berada sedekat mungkin dengan Tuhan, maka mereka harus mendekati hamba-hamba Tuhan yang tertindas, yang miskin, yang papa, yang terzalimi, yang berada dalam kesulitan hidup.

         Membela dan peduli terhadap fakir miskin dan mustadh’afin adalah melanjutkan tugas Rasul dalam membuang beban-beban (penderitaan) dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Bukankah Rasulullah Saw. berpesan, “ Kamu ditolong dan diberi rezeki karena bantuan orang-orang lemah di antara kamu”.

Salah satu wujud konkritnya adalah berkurban. Karena kurban adalah persembahan istimewa sebagaimana makna yang dipetik dari bahasa aslinya, Qariba-yaqribu-Qurbanun yang mengindikasikan gambaran sebuah pemberian berharga sebagai tanda syukur nikmat dan kepedulian moral yang tinggi terhadap sesama. Karena itu, kurban yang diterima adalah binatang tertentu yang disembelih dengan niat ikhlas dan cara tertentu sesudah shalat Idul Adha sampai hari-hari tasyrik berakhir.

Editor: S. Saputra

Tinggalkan komentar