Ramadan dengan Cinta #28 : Tawadhu yang Dicintai

Penulis: Prof. Dr. KH. Muammar Muhammad Bakry, Lc., MA. (Ketua FKUB Provinsi Sulawesi Selatan).

Allah berfirman dalam hadis qudsi dalam potongan terjemahnya: “Aku cinta orang fakir yang rendah hati dan cintaku lebih besar pada orang kaya yang rendah hati.” (HR. Ahmad).


Sangat wajar tentunya jika orang fakir menampakkan kerendahan hatinya dengan segala keterbatasan yang ada padanya. Dalam realitasnya, materi mampu menggerakkan kehidupan sesuai dengan yang diharapkan oleh orang yang bermodal banyak untuk suatu tujuan tertentu.


Mengatur orang lain dengan kemampuan finansial yang dimiliki tentu membuat orang memiliki otoritas yang kuat, sehingga sangat mudah terjangkit sifat kesombongon yang merasukinya. Otoritatif yang kuat tanpa diberengi dengan akhlak, dipastikan akan menampilkan manusia-manusia yang sombong dan angkuh. Berbeda dengan orang yang lemah secara finansial, tentu tidak ada daya yang cukup untuk menjadi modal baginya menjadi orang yang memiliki otoritas kuat yang pada akhirnya bisa menggelincirkannya pada sifat kesombongan.

Karena tantangannya sangat berat dengan potensi yang sangat memungkin untuk bertindak sombong namun ia tetap humble, maka Allah memberi apresiasi kepadanya lebih tinggi derajatnya daripada orang miskin yang rendah hati.


Tawadhu berakar dari kata “wadha’a” yang bermakna meletakkan sesuatu pada tempat yang lebih rendah, jadi orang tawadhu’ adalah bersikap rendah hati dari derajat kemuliaan. Kebalikan dari sombong (takabbur) yakni merasa lebih mulia daripada orang lain. Sifat takabbur, pemilliknya hanyalah Allah, salah satu dari nama asmaul husna.


Allah memiliki nama Mutakabbir maknanya seluruh makhlukNya kecil dan berada di bawah kendalinya. Kebesaran Allah yang sering diucapkan dalam takbir “Allahu Akbar” menunjukkan Allah berkuasa atas segala-galanya. Semua makhluk kecil, karena itu jika ada makhluk yang merasa besar, menunjukkan ia sombong bukan di hadapan manusia saja, tapi juga sombong di hadapan Allah swt.


Orang yang tawadhu tidak pernah melihat dirinya lebih baik daripada orang lain, dan tidak pernah menganggap orang lain lebih jelek daripada dirinya. Orang yang tawadhu bagai pepatah, padi semakin berisi semakin menunduk. Tapi orang yang sombong bagai pepatah, tong kosong nyaring bunyinya. Orang berilmu yang tawadhu, terpancar dari dirinya cahaya ilmu dan hikmah yang bermanfaat bagi orang lain. Ia bagai pelita dalam kegelapan. Ia bagai oase di tengah padang pasir. Tapi orang berilmu yang sombong, dengan ilmunya akan merusak dirinya, dan bahkan merusak orang lain.


Orang kaya yang tawadhu, dengan hartanya ia dekat dengan orang, dekat dengan Allah dan dekat dengan sorga. Tapi orang kaya yang sombong, dengan hartanya ia jauh orang, jauh dari Allah, tapi dekat dengan neraka. Tiadalah orang yang tawadhu kecuali akan diangkat oleh Allah dan manusia. Dan tiadalah orang sombong kecuali akan dihinakan oleh Allah dan manusia.

Tinggalkan komentar