
Penulis : Prof. Dr. KH. Muammar Muhammad Bakry, Lc., MA. (Ketua FKUB Provinsi Sulawesi Selatan).
Sesungguhnya orang-orang yang senang atas tersebarnya (berita bohong) yang sangat keji itu di kalangan orang-orang yang beriman, mereka mendapat azab yang sangat pedih di dunia dan di akhirat.
Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui. Demikian QS. Annur: 19.
Ayat di atas turun menyikapi tuduhan perselingkuhan Ummul Mukminin Aisyah ra dengan seorang sahabat Nabi Shafwan bin Mu’aththal.
Kabar ini dihembuskan oleh Abdullah bin Ubay kemudian disebarkan oleh beberapa orang di antaranya Hamnah binti Jahys, Misthah bin Atsatsah dan Hassan bin Tsabit.
Kabar yang berisi fitnah biasa disebut hoaks (hoax), demikian viral di Kota Madinah sehingga menimbulkan kegaduhan di kalangan kaum Muslim.
Hoaks itu berhasil memeta masyarakat Madinah pada empat kelompok; pertama, tidak percaya pada berita tersebut, ini dipelopori oleh Abu Musa al-Asy’ari dan istrinya.
Kedua, mereka yang diam tidak membenarkan dan juga tidak menyangkalnya, merupakan sikap mayoritas.
Ketiga, mereka yang senang mengobrolkan isu ini, dipelopori oleh Misthah bin Uttsah, Hassan bin Tsabit, dan Himnah binti Jahsy.
Keempat, pelopor berita bohong yaitu Abdullah bin Ubay dan para pengikutnya kaum munafik.
Ayat ini menegaskan akan azab yang amat pedih kepada oknum yang senang dengan berita bohong yang viral di masyarakat beriman, tindakan yang keji tersebut jelas motif pelakunya ingin merusak reputasi dan kredibilitas orang atau lembaga tertentu.
Jadi ayat di atas bukan hanya dikhususkan pada sebab turunnya secara personal pemeran pelaku dan pemeran korban yang ada ketika itu, tapi juga berlaku pada orang yang lain dan yang akan datang.
Demikian pula spesifikasi masalah bukan hanya yang terkait dengan perselingkuhan, tapi semua yang terkait dengan fitnah yang bisa merusak reputasi orang lain.
Quraish Shihab dalam menafsirkan ayat di atas, beliau nyatakan; pertama, sikap Nabi Muhammad saw menghadapi isu tersebut, tidak langsung mempercayai rumor tersebut, tidak memarahi Aisyah, dan tidak langsung menceraikannya.
Sambil menunggu wahyu, beliau meminta pendapat dari beberapa orang dan kemudian membelanya di hadapan publik.
Kedua, Aisyah tidak marah dan hanya menyampaikan keluhannya, sambil menunggu pembelaan dari Allah.
Ketiga, Ayat-ayat yang turun berkaitan dengan hadits al-ifki (berita bohong) mengajarkan bagaimana kita menghadapi rumor, yaitu tidak menyebarluaskannya.
Keempat, kita berkewajiban memelihara nama baik orang-orang terhormat dan keharusan menyanggah isu-isu negatif terhadap siapapun yang dihormati.
Kelima, Allah pasti membela orang-orang yang teraniaya, cepat atau lambat, selama dia patuh kepada-Nya.
Keenam, wajar marah kepada siapa saja yang berbuat salah, terlebih yang yang bersalah itu selama ini diberi bantuan, sebagaimana Nabi menghukum orang-orang yang menyebarkan berita bohong tersebut dengan 80 kali cambuk.
Benar kata orang, “satu peluru hanya mampu membunuh satu orang, tetapi satu berita hoaks mampu membunuh ribuan orang”.
Hal inilah yang mengakibatkan orang-orang yang memiliki kepentingan tertentu, memanfaatkan peluang untuk memproduksi hoaks, apalagi saat ini dunia mengalami perkembangan yang sangat cepat, karena dipicu oleh perkembangan teknologi informasi.
Sayangnya perkembangan teknologi kini tidak disertai dengan kesiapan literasi yang mencerahkan bagi penggunanya.
Sehingga berita dari media sosial terkadang lebih banyak dikonsumsi secara tidak sehat dan bertanggung jawab, inilah ladang bagi pencinta hoaks yang akan mendapatkan azab yang pedih dari Allah swt.