
Penulis : Prof. Dr. KH. Muammar Muhammad Bakry, Lc., MA. (Ketua FKUB Provinsi Sulawesi Selatan).
Kewajiban menaati pemimpin selama tidak mengarahkan kepada kesesatan maka hukumnya wajib dalam Islam.
Di Indonesia sejak Presiden Soekarno hingga Presiden Prabowo Subianto belum pernah terdengar memaksa rakyatnya untuk melakukan hal yang menyimpang dari agama atau perintah kepada kemaksiatan.
Aturan-aturan yang dikeluarkan juga selama ini di Indonesia adalah kemaslahatan yang disesuaiakn dengan kebutuhan dan kesepakatan yang diakui secara konstitusional.
Karena itu, tidak ada alasan melakukan tindakan makar untuk menyatakan bahwa Indonesia adalah negara thogut (setan).
Bahkan orang yang menyatakan Indonesia sebagai darul harb (wilayah perang) bisa dikategorikan sebagai Tindakan makar (separatis) yang dalam fikih disebut bugat, dapat dieksekusi mati.
Instrument pemimpin adalah sebuah kemutlakan yang harus ada dalam masyarakat, sekalipun diduga pemimpin itu tirani, sabda Nabi saw “Sepeninggalku nanti ada pemimpin-pemimpin yang akan memimpin kalian, pemimpin yang baik akan memimpin dengan kebaikannya dan pemimpin yang fajir (tirani) akan memimpin kalian dengan kefajirannya.
Maka dengarlah dan taatilah mereka pada perkara-perkara yang sesuai dengan kebenaran saja.
Apabila mereka berbuat baik maka kebaikannya adalah bagimu dan untuk mereka, jika mereka berbuat buruk maka bagimu (untuk tetap berbuat baik) dan bagi mereka (keburukan mereka).” (HR Bukhari Muslim).
Allah berfirman dalam hadis qudsi: “Aku adalah Maha Raja. Hati para ada di genggamanku.
Maka barang siapa yang taat padaku, akan aku jadikan mereka (para raja/pemimpin) nikmat baginya, dan barang siapa yang melanggar perintah-Ku akan Aku jadikan mereka sebagai musibah atas dirinya.
Maka janganlah kalian sibuk mencela dan mencaci maki pemimpin-pemimpin kalian, akan tetapi memintalah padaku, maka akan aku lembutkan hati mereka untuk kalian”.
Dikisahkan ada seseorang yang akan beramar ma’ruf dan nahi munkar, lalu dia meminta pendapat kepada seorang ulama agar diizinkan dengan cara yang keras karena pelakunya itu sudah dianggap keterlaluan.
Namun sang ulama menjawab bahwa kamu tidak lebih baik dari Nabi Musa as dan orang yang akan kamu nasihati tidak lebih jahat dari Fir’aun, tapi Allah di dalam Al-Qur’an tetap memerintahkan Nabi Musa as dan Nabi Harun as) untuk berbicara dengan lemah lembut kepada Fir’aun: “Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, karena dia benar-benar telah melampaui batas.
Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut. (QS. Thaha 43-44) Kemudian kita tidak boleh membenarkan kebohongan dan mendukung kezaliman mereka.
Wujud cinta rakyat kepada pemimpinnya, jika seorang pemimpin membawa kemaslahatan untuk rakyat, rakyat harus membantunya dengan doa, serta mengapresiasi atas kinerjanya yang baik.
Jika pemimpinnya membawa kerusakan, maka kewajiban rakyat adalah mendoakan, semoga Allah segera memperbaikinya, memberi petunjuk kepada jalan yang benar.
Ulama melarang kita mencela dan berdoa buruk atas dirinya, karena akan menambah kerusakan dan kezalimannya yang tentu efeknya akan berdampak kepada masyarakat.
Kita simak ucapan al-Imam Fudhail tentang cinta rakyat kepada pemimpinnya, “Andai saja aku mempunyai satu doa yang pasti dikabulkan Allah, maka aku akan menjadikannya (untuk berdoa yang baik) untuk pemimpinku, karena jika pemimpin kita baik, maka negara akan aman dan masyarakat tentram.