Dr. H. Nurman Said: Idul Qurban, Refleksi Ketaatan dan Kepedulian Sosial

Ibadah haji dan Ibadah Qurban merupakan perintah syari’at yang terkait dengan peristiwa yang dilaksanakan oleh oleh Nabi Ibrahim as. bersama istrinya St. Hajar dan putranya Ismail as., sebagai bentuk ketaatan melaksanakan perintah Allah swt. Nabi Ibrahim as dikenal sebagai orang yang memiliki ketaatan dan kepasrahan total dalam melaksanakan perintah Allah, St. Hajar dikenal sebagai Wanita salihah yang memiliki semangat juang dalam merawat dan membesarkan  anaknya dalam keterbatasan karena ditinggalkan oleh Nabi Ibrahim saat dia dan anaknya membutuhkan perlindungan dan pemeliharaan seorang ayah. Demikian halnya juga dengan Ismail seorang anak saleh dan taat pada orang tua. Ketiga-tiganya adalah teladan yang perlu menjadi contoh bagi kita, Ibrahim as adalah contoh terbaik dalam ketaatan penyerahan diri kepada Allah swt, St. Hajar adalah contoh sangat baik dalam merawat dan menjaga keluarga agar tetap hidup utuh meski dalam kesulitan dan keterbatasan. Adapun Ismail as adalah contoh anak saleh yang sabar dan siap berkorban untuk menjalankan perintah Allah swt.

Arti penting dari ibadah Qurban adalah ketaatan melaksakan perintah Allah swt sebagai bentuk upaya merawat hubungan kepada Allah swt. (Hablun Minallah) dan keikhlasan untuk berbagi dengan sesama, khususnya terhadap mereka yang dalam keadaan susah karena kekurangan dan keterbatasan sebagai bentuk upaya merawat hubungan dengan sesama manusia (Hablun Minannas).  Ibadah Qurban mengisyaratkan bahwa kemuliaan seseorang bukan diukur dari penampilan rupa, bukan kemewahan duniawi, bukan pula latar belakang keturunan atau jabatan penting yang diduduki, melainkan pada ketakwaan yang mendorong lahirnya sikap, tutur kata dan perbuatan baik dan mulia sebagaimana sabda Rasulullah saw:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ صَخْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى أَجْسَامِكُمْ وَلاَ إِلَى صُوَ رِكُمْ  وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ

 Artinya:

Dari Abu Hurairah Abdurahman bin Sakhr r.a. berkata: “Rasulllah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah swt tidak melihat fisik kamu, tidak pula pada rupa kamu melainkan Dia menilai apa yang ada dalam hati kamu” (H.R. Muslim).

Pada riwayat yang lain disebutkan:

إِنَّ اللهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

Artinya:

Allah tidak melihat kepada bentuk rupa dan harta kalian tapi hanya melihat kepada hati dan amalan kalian (HR. Muslim)

Ibadah Qurban yang kita laksanakan hanya akan bernilai di sisi Allah swt jika kita laksanakan semata-mata karena ketakwaan kepada-Nya.  Allah swt tidak membutuhkan daging dan darah dari hewan yang diqurbankan karena Dia tidak membutuhkan apapun.  Bagi Allah swt yang dinilai adalah ketakwaan yang menjadi dasar penyembelihan hewan qurban sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an surah al-Hajj ayat 37:

لَن يَنَالَ ٱللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَآؤُهَا وَلَٰكِن يَنَالُهُ ٱلتَّقۡوَىٰ مِنكُمۡۚ كَذَٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمۡ لِتُكَبِّرُواْ ٱللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَىٰكُمۡۗ وَبَشِّرِ ٱلۡمُحۡسِنِينَ ٣٧

Terjemahnya:

Daging-daging dan darahnya itu sekali-kali tidak mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.

Kesediaan untuk berbuat baik kepada sesama manusia merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat. Dan setiap orang dapat berbuat baik kepada sesama manusia sesuai dengan keadaan dan kemampuannya masing-masing. Tidak mesti seseorang baru bisa berbuat baik jika memiliki harta yang yang melimpah. Tidak juga hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memiliki jabatan atau kedudukan penting di masyarakat. Berbuat baik bisa dilakukan oleh siapa saja meski tidak memiliki harta benda, bisa juga oleh masyarakat biasa yang tidak memiliki jabatan dan kedudukan.   Hanya dengan bermuka manis atau dengan sikap dan tutur kata yang baik, seseorang sudah bisa menyenangkan orang lain sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah saw:

إنَّكُمْ لَا تَسَعُونَ النَّاسَ بِأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ لِيَسَعْهُمْ مِنْكُمْ بَسْطُ الْوَجْهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ

Artinya:

Sesungguhnya kalian tidak bisa menarik hati manusia dengan harta kalian. Akan tetapi kalian bisa menarik hati mereka dengan wajah berseri dan akhlak yang mulia” (H.R. Al Hakim)


Orang yang mulia adalah orang yang rendah hati. Ia senantiasa menganggap dirinya tidak lebih baik dari orang lain. Jika ia diberi nikmat berupa harta maka ia gunakan harta itu untuk memuliakan sesama manusia. Jika diberikan keduukan atau jabatan maka kedudukan dan jabatannya digunakan untuk memuliakan sesama manusia. Sebaliknya, orang yang hina adalah orang yang menghinakan dan tidak peduli kepada sesama manusia.

Hidup yang indah penuh arti adalah hidup bersama dengan orang lain dalam ikatan persaudaraan yang tulus. Persaudaraan sejati adalah hidup bersama dalam ikatan saling mencintai, saling menyayangi, sipakatau, sipalebbi’, sipurio, sipurennu.

Sebagai makhluk sosial, kita tidak bisa hidup sendirian.  Sangat banyak yang kita nikmati merupakan buah keringat hasil kerja keras orang lain. Mudah sekali kita mengetahui diantara apa yang kita nikmati itu sesungguhnya merupakan hasil jerih payah dan pengorbanan orang lain, mulai dari orang-orang dekat kita sampai dari mereka yang tidak kita kenal. Orang-orang yang telah berbuat baik kepada kita tidak terhitung jumlahnya. Di situ ada orangtua yang membesarkan kita, guru yang mengajarkan ilmu kepada kita, kawan yang menolong kita saat sulit, istri atau suami yang berkhidmat kepada kita, pegawai yang melaksanakan perintah kita, atau orang-orang kecil yang secara tidak langsung membesarkan kita. Berbuat baiklah kepada mereka sekarang juga. Ungkapkan terimakasih kita kepada mereka meski hanya sebatas senyum sambil menggenggam tangan atau bahkan memeluk mereka. Mari kita isi sisa hidup kita dengan kebaikan berupa kasih sayang kepada saudara-saudara kita. Buang dan kubur dalam-dalam segala dengki dan iri hati. Tinggalkanlah gerakan-gerakan lidah dan jari yang berisi hasutan, fitnah yang bertujuan untuk menjatuhkan kehormatan orang lain karena kezaliman yang kita lakukan akan menghapus seluruh pahala amalan kita.

Jika kita pernah merampas hak orang lain atau menggunjing dan memfitnah mereka atau memeras tenaga mereka untuk keuntungan kita sendiri, atau menyakiti hati mereka dengan penghinaan atau makian, atau mendengki mereka dan berusaha menjatuhkan kehormatan mereka dengan tuduhan keji, atau menyiksa mereka dengan lisan atau tindakan, atau kita mengabaikan mereka ketika mereka meminta pertolongan, atau tidak memaafkan mereka ketika mereka meminta maaf, maka sesungguhnya kita tidak hanya berbuat zalim kepada mereka tetapi juga menzalimi diri kita sendiri sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur’an surah al-Ahzab ayat 58:

وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا

Terjemahnya:

Dan orang-orang yang menyakiti mukminin dan mukminat bukan karena apa yang mereka lakukan, sungguh mereka telah memikul fitnah besar dan dosa yang nyata.

Ketahuilah bahwa orang yang baik bukanlah orang yang tidak punya kesalahan sama sekali, bukan pula orang yang tidak punya dosa sama sekali; melainkan orang yang selalu berusaha untuk tidak melakukan kesalahan.  Tetapi jika ia khilaf atau bersalah, ia bertaubat memohon ampun atau meminta maaf atas kesalahannya itu lalu berjanji dalam hati untuk tidak mengulanginya lagi.

Editor: S. Saputra

Tinggalkan komentar