Ramadan dengan Cinta #30: Fitrah Cinta

Penulis : Prof. Dr. KH. Muammar Muhammad Bakry, Lc., MA.


Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci). Fitrah dalam kutipan hadis yang populer itu bisa dimaknai bahwa anak yang lahir memiliki potensi ilahi untuk mengenal Tuhannya. Dapat juga diartikan bahwa manusia yang lahir di muka bumi tak membawa dosa sedikit pun.

Peran orang tua dan lingkungan sangat memengaruhi pertumbuhan anak hingga menjauhkan dari kesucian fitrahnya. Jika hidup dalam keluarga yang menjaga kesucian fitrah lalu diperkuatan dengan sistem sosial masyarakat yang sehat maka fitrah dalam kehidupan seseorang dapat terarah dan terbimbing sesuai dengan petunjuk ilahi. Namun jika sebaliknya maka perteumbuhan seseorang lambat laun menjauhkan seseorang dari tuntunan agama yang benar. Dalam menjalani hidupnya, terhitung sejak manusia balig (mukallaf), fitrah itu kemudian terkaburkan oleh dosa yang menjauhkan dirinya dengan Tuhannya dan nilai-nilai kebaikan.

Dalam bahasa al-Qur’an dosa diartikan dzulm (kegelapan). Karena dosa membuat hati gelap, sehingga hati tidak menjadi nurani (bersifat cahaya). Ibarat ruang kosong, hati bisa terisi dengan dzulm (kegelapan), bisa pula terisi dengan nur (cahaya).

Aneka macam kegelapan yang bisa menyelimuti cahaya fitrah seseorang, jika tidak dilakukan treatment yang tepat maka akan mengaburkan visi besar tujuan kehidupan manusia di muka bumi ini. Kontrol utama sebagai stabilisator dalam menjaga pergerakan tunuh adalah hati.

Hati yang dalam bahasa arab biasa diartikan qalb (kalbu). Sesungguhnya secara harfiah bermakna bolak balik (taqallub), dari sini kemudian hati memiliki watak yang tidak konsisten. Hati berfluktuasi sesuai ketahanan diri atas pengaruh internal dan eksternal yang dialami oleh manusia.

Ada yang mengibaratkan hati seperti kaca yang mencerminkan segala sesuatu di sekelilingnya. Maksudnya, tingkah laku dan cara berpikir seseorang adalah cerminan hatinya. Ini faktual dan juga didasari pada sebuah riwayat bahwa dalam diri manusia ada segumpal daging, jika ia baik maka baiklah tubuhnya, dan jika rusak maka rusaklah tubuhnya, itulah hati. Baik dan rusaknya tubuh bukanlah dimaknai secara fisik tapi yang dimaksud adalah karakter.

Potensi ilahi yang menjadi fitrah dalam diri manusia dilalui dengan jalan meneladani sifat-sifat Tuhan yang tergambar dalam nama-namaNya yang indah (asmaul husna), sebagai upaya menghiasi jiwa dengan akhlak Allah. Ar-Rahman artinya Maha Pengasih, maka manusia seharusnya juga pengasih kepada alam sekitarnya. Dia Al-Alim (Maha Mengetahui), maka manusia seharusnya terus belajar untuk menjadi orang berilmu. Dia Ar-Razzaq (Maha Pemberi rezeki), maka seharusnya manusia juga gemar membagi hartanya, demikianlah seterusnya.

Jadi fitrah adalah kesiapan mental untuk menerima dan melakukan kebaikan dan membenci kejelekan dan kejahatan. Sejelek apapun perangai seseorang tidak akan pernah berubah mencintai kejelekan. Seorang pencuri sebenarnya tidak pernah menyatakan mencuri itu baik, seorang yang kikir tidak pernah membenci orang yang dermawan dan seterusnya, itu artinya fitrah manusia cinta kepada kebaikan.

Tinggalkan komentar