Ramadan dengan Cinta #21: Cinta “Fitnah”

Penulis : Prof. Dr. KH. Muammar Muhammad Bakry, Lc., MA. (Ketua FKUB Provinsi Sulawesi Selatan)

Harta dan anak adalah hiasan dunia yang menjadi wasilah bagi seseorang menikmati hidupnya sesuai nilai yang dipahami dan diyakini.

Ada orang yang menjadikan harta, keluarga dan status sosial yang dimiliki menjadikan ia lebih dekat dengan Allah, mendapatkan ridho dan berkahnya.

Namun tidak sedikit juga tergelincir dengan apa yang Allah titipkan kepadanya, justru membuatnya semakin jauh dari Allah dan lupa diri.

Semua itu adalah ujian, ujian kaya dan ujian miskin. Empat macam model manusia menyikapi ujian hidup itu.

Pertama berhasil Ketika diuji dengan kekayaan tapi gagal jika diuji dengan kemiskinan. 

Kedua berhasil Ketika diuji kemiskinan, tapi gagal Ketika diuji kekayaan. Ketiga, sama saja baginya diuji kekayaan atau kemiskinan tetap gagal.

Dan keempat sama saja  baginya kekayaan atau kemiskinan tidak membuat imannya luntur. Itulah yang dimaksud dalam al-Qur’an bahwa harta dan anakmu adalah fitnah (maksudnya ujian).

Karena itu, boleh jadi seseorang mulia di hadapan Allah karena ia memiliki semua harta dan jabatan sebagai ujian baginya, lalu ia lulus dalam ujian tersebut.

Sangatlah wajar dan manusiawi, jika orang mencintai lawan jenisnya, keluarga, harta dan jabatan.

Akan tetapi semua yang disebutkan itu seharusnya menjadi sarana dalam merasakan cinta hakiki kepada Allah swt.

Caranya bagaimana? Kendalikan semuanya di bawah keinginan Allah swt. 

Orang yang mencintai pasangannya, ia jadikan sebagai pendamping yang halal yang selalu bersama dalam suka dan duka, mencintainya karena Allah, bukan karena maksud tertentu. 

Mencintai harta dengan jalan mencari yang halal lalu keluarkan zakat dan sadaqahnya,  harta yang mengajak kita bersyukur kepada-Nya.

Bukan harta yang menjauhkan kita dari sujud menyembahNya. Mencintai anak dengan mengajak mengenal Tuhannya, mengajarinya beribadah kepadaNya, membimbingnya dengan nilai-nilai agama.

Mencintai pangkat dan jabatan dengan cara diperoleh secara wajar dan benar. Tidak diperoleh melalui cara licik dan kasar yang mengakibatkan orang yang berhak jadi korban.

Mencintai jabatan ditundukkan dengan keinginan Tuhan dengan cara tidak menjadikan jabatan untuk melakukan korupsi, memperkaya diri dan orang lain, tapi jabatan dijadikan sebagai sarana untuk kemasalahatan orang banyak. 

Demikianlah cinta hakiki, cinta di bawah control dan keinginan Allah swt. Umar bertanya kepada Huzaifah tentang kabarnya di pagi hari, Huzaifah menjawab saya mencintai fitnah dan membenci kebenaran dan saya salat tanpa wudhu’, saya punya sesuatu di bumi yang Allah tidak miliki.

Umar kemudian marah, dan Ali bertanya apa gerangan wahai Amirul Mukminin yang membuatmu marah? Umar bin Khathab menjawab seperti yang disebutkan oleh Huzaifah.

Ali kemudian menjelaskan, wahai Amirul Mukminin, Huzaifah benar, ia mencintai fitnah, yang dimaksud fitnah adalah harta dan anak, karena Allah befirman “harta dan anak kalian hanyalah fitnah”, ia juga membenci kebenaran, yang dimaksud adalah kematian.

Dia salat tanpa wudhu dengan bersalawat kepada Nabi, dia juga memiliki apa yang Allah tidak miliki, yakni dia memiliki istri dan anak, di mana Allah tidak memilikinya. Umar menanggapi tersenyum dan membuat hatinya tidak lagi menyimpan kemarahan kepada Huzaifah.

Tinggalkan komentar