
Penulis : Prof. Dr. KH. Muammar Muhammad Bakry, Lc., MA. (Ketua FKUB Provinsi Sulawesi Selatan).
Hidup tanpa cinta membuat jiwa gersang, hidup jadi tak bernilai, bagai tubuh yang tidak punya perasaan.
Manusia tanpa cinta ia telah mati sebelum ia mati yang sebenarnya.
Semakin tinggi kadar cinta seseorang, semakin tinggi semangat dan kualitas hidupnya. Lalu apa objek yang kita cintai?
Sangat manusiawi dan demikianlah kodratnya ia diciptakan, manusia mencintai lawan jenisnya, mencintai anak-anaknya, harta dan segala macam bentuk kemewahan dunia termasuk jabatan yang terus dipikirkan dan dikejar.
Semua yang disebutkan di atas, mungkin sudah kita miliki atau mungkin masih dalam khayalan.
Jika kita sudah miliki, lalu pertanyaannya adalah, sampai kapan bisa bertahan pada kita? Dan apakah yang kita cintai itu dapat menjaga kita, atau malah menyusahkan?
Ada dua kemungkinan yang bisa terjadi. Mungkin kita yang lebih dahulu meninggalkannya. Atau mungkin mereka yang lebih dahulu meninggalkan kita.
Ini yang disebutkan Allah dalam QS. At-Taubah : 24 (Katakanlah: “jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik).
Orang mukmin yang mencintai Allah daripada yang lainnya akan mendapatkan manisnya iman. Satu dari tiga yang dilakukan untuk memperoleh nikmatnya iman, yaitu mencintai seseorang karena Allah dan membenci untuk kembali pada kufur.
Dalam QS. Al-Baqarah: 165, dalam ayat itu dijelaskan dalam maknanya sebagai berikut, bahwa ada tiga model manusia yang mencintai antara Allah dan selain-Nya.
Pertama, ada orang yang sama cintanya kepada Allah dengan cinta harta, jabatan, keluarga. Kedua, ada orang yang lebih cinta pada hal-hal yang disebutkan di atas daripada Allah.
Dan yang ketiga orang mukmin yaitu lebih mencintai Allah daripada yang disebutkan itu.
Bagaimana mendeteksi diri kita dari tiga model di atas? Di mana posisi kita?
Jawabannya terlihat pada sikap kita kepada harta, jabatan dan keluarga. Bukanlah maksudnya manusia tidak perlu memiliki atau mengabaikan semua itu.
Terlepas dari sikap seorang sufi perempuan yang bernama Rabiah al-Adawiyah yang tidak nikah dalam hidupnya.
Rabiah tidak nikah bukan karena tidak ada yang melamarnya, banyak pemuda hingga ulama yang antri ingin menikahinya.
Rabiah menolak dan tidak menerima lamarannya, karena ia khawatir jangan sampai kehadiran keluarga kelak menjadikan cintanya terbagi kepada Allah.
Ia hanya ingin berkonsentrasi mencintai Tuhan. Ia tidak menginginkan ada ruang makhluk dalam hatinya selain Allah.
Apa yang dialami Rabiah adalah haknya untuk menentukan pilihan hidupnya, apalagi dunia sufi berbeda dengan dunia manusia lainnya.
Namun bukanlah berarti orang yang punya keluarga, harta dan jabatan adalah orang yang jauh dari Tuhan, jika semua dimanfaatkan untuk mendekatkan dirinya dengan Tuhan.