
Prof. Dr. KH. Muammar Muhammad Bakry, Lc.,MA. (Ketua FKUB Provinsi Sulawesi Selatan)
Setiap manusia adalah pemimpin dan setiap pemimpin dimintai pertanggung jawabannya, demikian riwayat hadir yang masyhur.
Hal itu isyarat bahwa semua manusia tanpa terkecuali terlahir sebagai pemimpin. Minimal memimpin diri sendiri.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) arti pemimpin adalah orang yang memimpin.
Sedangkan definisi secara ringkas dapat kita artikan “seorang pemimpin adalah mereka yang menggunakan jabatan dan wewenangnya untuk mengarahkan bawahannya untuk mencapai tujuan kelompok dan tujuan organisasi”.
Kehadiran pemimpin adalah hal yang wajib dalam suatu masyarakat, Nabi saw memerintahkan jika tiga orang yang hendak melakukan perjalanan, maka hendaknya mengangkat satu leader untuk memandu perjalanan.
Analoginya bahwa sedangkan tiga orang butuh pemimpin, apalagi komunitas yang jumlah anggotanya lebih dari tiga.
Inilah salah satu arti khilafah yakni kepemimpinan yang berkelanjutan.
Dalam konteks ini khilafah wajib sebagai instrument menjaga kemaslahatan masyarakat banyak, baik di tingkat RT, RW, kelurahan, kecamatan, kabupaten, provinsi hingga tingkat nasional.
Perhatian Nabi saw akan pemimpin yang ideal disebut dalam sabdanya, “sebaik-baik pemimpin kalian adalah orang-orang yang kalian cintai dan mencintai kalian, kalian mendoakan mereka dan mereka pun mendoakan kalian.
Dan seburuk-buruk pemimpin kalian adalah orang-orang yang kalian benci dan membenci kalian, kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian.” (HR. Imam Muslim).
Seorang pemimpin yang mengerti arti cinta dalam kepemimpinannya berani mengambil resiko untuk kemaslahatan yang dipimpinnya, sesuai kaidah “tasharruful imam alarraiyah manuuthun bilmaslahah” (segala kebijakan pemimpin didasari pada kemaslahatan rakyat) sejalan dengan prinsip “A leader who doesn’t love is not leader” (pemimpin yang tidak mencintai bukanlah pemimpin).
Umar bin Abdul Aziz dikenal sebagai pemimpin yang amanah, warak, adil, bijaksana, dan selalu mementingkan kehidupan rakyatnya.
Ia menerapkan kebijakan yang membawa perubahan signifikan bagi rakyatnya, seperti menurunkan pajak, membangun infrastruktur seperti irigasi dan jalan raya, memberdayakan lahan pertanian, memprioritaskan kesejahteraan fakir miskin dan anak yatim, dan membangun tempat peristirahatan untuk para pedagang.
Beliau berkata, orang yang baik bukanlah orang yang setiap hari bicara tentang kebaikan, melainkan orang yang melakukan kebaikan, seorang pemimpin yang baik harus membangun karakternya terlebih dahulu untuk mampu menjalankan kebaikan, dan hal terbaik bagi seorang pemimpin melakukan kebaikan adalah karena rasa cinta.
Merujuk pada QS. Ali Imran:159 sejumlah poin yang perlu dimiliki seorang pemimpin yaitu harus bersikap baik, penyayang, dan pemaaf terhadap orang-orang yang dipimpinnya.
Jika ia bersikap kasar kepada mereka, mereka akan meninggalkannya.
Pemimpin yang mencintai rakyatnya merasakan sakit jika rakyatnya sakit, tidak kenyang sebelum rakyatnya kenyang, tidak tidur sebelum rakyatnya tidur, nanti merasa tenang apabila rakyatnya tenang.
Penderitaan rakyat adalah penderitaannya, kebahagiaan rakyatnya adalah kebahagiaannya.
Pemimpin selalu siap merasakan sakit, karena harus melakukan pengorbanan-pengorbanan.
Rasa sakit yang paling dalam bagi seorang pemimpin adalah mengorbankan egonya demi orang-orang yang dicintainya, tapi sakit karena rasa cinta itu nikmat, demikian ungkapan Qays bin al Malawi.